Pertama Akidah Ahlussunnah Waljamaah. Adapun dalam bidang akidah, yang memenuhi kriteria Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah golongan yang dikenal dengan nama Asy'ariyah (pengikut Imam Abu Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah (pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi). Merekalah golongan mayoritas ulama dari masa ke masa. Sejakhari itu, Imam Abu Hasan Al Asy'ari berjuang melawan faham Mu'tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum mu'tazilah di mana-mana, merumuskan dan menuliskan dalam banyak kitabnya tentang i'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah sehingga nama beliau dikenal sebagai seorang ulama tauhid yang dapat melumpuhkan dan menghancurkan paham mu'tazilah yang salah itu. BANYUPUTIH pelajarnubatang.or.idNahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah, di dalamnya terdapat 3 bidang pokok, antara lain bidang Akidah, Fiqih, dan KH.said agil sirojd dalam bukunya ahlussunnah waljamaah dalam lintas sejarah mengartikan firqoh sebagai faksi politik Sedangakan secara terminologi firqoh berarti golongan atau kaum yang mengikuti pemahaman atau pendapat yang keluar dari pemahaman jamaah muslimin atau assawadul a'dhom dan mereka kemudian memisahkan diri dari ikatan keummatan PahamAhlussunnah Waljamaah dalam bidang akidah menganut ajaran tauhid . a. Imam Al Ghozali d. Imam Hanafi b. Imam Al Asy'ari e. Islam penganut paham Ahlussunnah Waljamaah adalah Islam yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, serta mengikuti akhlak dari ulama . Sedangkandalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat) madzhab yaitu madzhab Syafi'i (Syafi'iyyah). Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama'ah dalam bidang tashawwuf, NU mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi (w,505 H/ 1111M) B. Mengapa NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama . Oleh Maulana Syekh Ali Jum'ah Ahlussunnah Wal Jamā'ah Aswaja membedakan antara teks wahyu Al-Qur'an dan Sunnah, penafsiran dan penerapannya, dalam upaya melakukan tahqīq manāth memastikan kecocokan sebab hukum pada kejadian dan takhrīj manāth memahami sebab hukum. Metodologi inilah yang melahirkan Aswaja. Aswaja adalah mayoritas umat Islam sepanjang masa dan zaman, sehingga golongan lain menyebut mereka dengan sebutan "Al-'Āmmah orang-orang umum atau Al-Jumhūr", karena lebih dari 90 persen umat Islam adalah Aswaja. Mereka mentransmisikan teks wahyu dengan sangat baik, mereka menafsirkannya, menjabarkan yang mujmal global, kemudian memanifestasikannya dalam kehidupan dunia ini, sehingga mereka memakmurkan bumi dan semua yang berada di atasnya. Aswaja adalah golongan yang menjadikan hadis Jibrīl yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahīh-nya, sebagai dalil pembagian pilar agama menjadi tiga Iman, Islam dan Ihsān, untuk kemudian membagikan ilmu kepada tiga ilmu utama, yaitu akidah, fiqih dan suluk. Setiap imam dari para imam Aswaja telah melaksanakan tugas sesuai bakat yang Allah berikan. Mereka bukan hanya memahami teks wahyu saja, tapi mereka juga menekankan pentingnya memahami realitas kehidupan. Al-Qarāfī dalam kitab Tamyīz Al-Ahkām menjelaskan Kita harus memahami realitas kehidupan kita. Karena jika kita mengambil hukum yang ada di dalam kitab-kitab dan serta-merta menerapkannya kepada realitas apa pun, tanpa kita pastikan kesesuaian antara sebab hukum dan realitas kejadian, maka kita telah menyesatkan manusia. Disamping memahami teks wahyu dan memahami realitas, Aswaja juga menambahkan unsur penting ketiga, yaitu tata cara memanifestasikan atau menerapkan teks wahyu yang absolut kepada realitas kejadian yang bersifat relatif. Semua ini ditulis dengan jelas oleh mereka, dan ini juga yang dijalankan hingga saat ini. Segala puji hanya bagi Allah yang karena anugerah-Nya semua hal baik menjadi sempurna. Inilah yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompak radikal. Mereka tidak memahami teks wahyu. Mereka meyakini bahwa semua yang terlintas di benak mereka adalah kebenaran yang wajib mereka ikuti dengan patuh. Mereka tidak memahami realitas kehidupan. Mereka juga tidak memiliki metode dalam menerapkan teks wahyu pada tataran realitas. Karena itu mereka sesat dan menyesatkan, seperti yang imam Al-Qarāfī jelaskan. Aswaja tidak mengafirkan siapa pun, kecuali orang yang mengakui bahwa ia telah keluar dari Islam, juga orang yang keluar dari barisan umat Islam. Aswaja tidak pernah mengafirkan orang yang shalat menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi yang haram. Aswaja menerima perbedaan dan menjelaskan dalil-dalil setiap permasalahan, serta menerima kemajemukan dan keragaman dalam akidah, atau fiqih, atau tasawuf mengutip 3 bait dari Al-Burdah "Para nabi semua meminta dari dirinya. Seciduk lautan kemuliaannya dan setitik hujan ilmunya. Para nabi sama berdiri di puncak mereka. Mengharap setitik ilmu atau seonggok hikmahnya. Dialah Rasul yang sempurna batin dan lahirnya. Terpilih sebagai kekasih Allah Pencipta manusia." Aswaja berada di jalan cahaya terang yang malamnya seterang siangnya, orang yang keluar dari jalan itu pasti celaka. Aswaja menyerukan pada kebajikan, dan melarang kemungkaran. Mereka juga waspada dalam menjalankan agama, mereka tidak pernah menjadikan kekerasan sebagai jalan. Diriwayatkan dari sahabat Abu Musa Al-Asy'arī, bahwa Rasulullah SAW. bersabda "...hingga seseorang membunuh tetangganya, saudaranya, pamannya dan sepupunya.", Para sahabat tercengang "Subhānallah, apakah saat itu mereka punya akal yang waras?" Rasulullah menjawab "Tidak. Allah telah mencabut akal orang-orang yang hidup pada masa itu, sehingga mereka merasa benar, padahal mereka tidaklah dalam kebenaran." Rasulullah juga bersabda "Barang siapa yang keluar dari barisan umatku, menikam membunuh orang saleh dan orang jahatnya, ia tidak peduli pada orang mukmin juga tidak menghormati orang yang melakukan perjanjian damai ahlu dzimmah, sungguh dia bukanlah bagian dari saya, dan saya bukanlah bagian dari dia." Aswaja memahami syariat dari awalnya. Mereka memahami "Bismillāhirrahmānirrahīm" Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah Menyebutkan dua nama-Nya, yaitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak mengatakan "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Membalas dan Maha Kuat". Justru Allah menyampaikan pesan keindahan dalam keindahan melalui Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm. Allah tidak mengenalkan diri-Nya dengan keagungan-Nya SWT. Kami belajar "Bismillāhirrahmānirrahīm" di Al-Azhar. Para ulama Al-Azhar saat menafsirkannya menjelaskan dengan banyak ilmu. Mereka menjelaskan "Bismillāhirrahmānirrahīm" dari banyak perspektif ilmu fiqih, mantiq logika, akidah, suluk dan balaghah. Mereka sabar duduk menjelaskannya dengan begitu lama dan panjang, hingga kita menyangka bahwa penjelasan mereka tidak ada ujungnya. Kemudian, setelah musibah teror golongan radikal ini menimpa, kita baru memahami bahwa metode mengajar ulama Al-Azhar itu merupakan kebenaran. Mereka membangun piramida ilmu kita sesuai cara yang benar membangun pondasi piramida dari bawah, hingga sampai pada ujung lancipnya yang berada di atas. Sementara kelompok radikal membalik cara membangun piramida ilmu mereka, ujungnya di bawah, dan pondasinya di atas hingga piramida itu runtuh mengenai kepala mereka sendiri. Aswaja tidak memungkiri peran akal, bahkan mereka mampu mensinergikan akal dan teks wahyu, serta mampu hidup damai bersama golongan lain. Aswaja tidak pernah membuat opini umum palsu memprovokasi. Mereka tidak pernah bertabrakan melakukan kekerasan dengan siapapun di jagad raya. Aswaja justru membuka hati dan jiwa mereka untuk semua orang, hingga mereka berbondong-bondong masuk Islam. Para ulama Aswaja telah melaksanakan apa yang harus mereka lakukan pada zaman mereka. Karena itu kita juga harus melaksanakan kewajiban kita di zaman ini dengan baik. Kita wajib memahami teks wahyu, memahami realitas dan mempelajari metode penerapan teks wahyu pada realitas. Aswaja memperhatikan dengan cermat 4 faktor perubahan, yaitu waktu, tempat, individu dan keadaan. Al-Qarāfī menulis kitab luar biasa yang bernama Al-Furūq untuk membangun naluri ilmiah malakah hingga kita mampu melihat perbedaan detail. Awal yang benar akan mengantar pada akhir yang benar juga. Karena itu, barangsiapa yang mempelajari alfabet ilmu pondasi awal ilmu dengan salah, maka ia akan membaca dengan salah juga, lalu memahami dengan salah, kemudian menerapkan dengan salah, hingga ia menghalangi manusia dari jalan Allah tanpa ia sadari. Inilah yang terjadi dan yang membedakan antara orang yang belajar ilmu bermanfaat, terutama Al-Azhar sebagai pemimpin lembaga-lembaga keilmuan, dan antara orang yang mengikuti hawa nafsunya, merusak dunia dan menjelekkan citra Islam serta kaum muslimin. Pesan saya kepada umat Islam dan dunia luar Ketahuilah bahwa Al-Azhar adalah pembina Aswaja. Sungguh oknum-oknum yang membencinya telah menyebar kabar keji, dusta dan palsu bahwa Al-Azhar telah mengalami penetrasi dan lumpuh. Mereka ingin membuat umat manusia meragukan Al-Azhar sebagai otoritas yang terpercaya, hingga mereka tidak mau kembali lagi kepada Al-Azhar sebagai tempat rujukan dan perlindungan. Al-Azhar tetap berdiri dengan pertolongan Allah SWT, di bawah pimpinan grand syaikhnya. Setiap hari Al-Azhar berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan mulianya, juga membuka mata seluruh dunia, menyelamatkan mereka dari musibah radikalisme yang menimpa. Al-Azhar tidak disusupi dan tak akan lumpuh selamanya hingga hari akhir, karena Allah Yang membangunnya dan melindunginya. Allah juga Yang mentakdirkan orang-orang pilihan-Nya untuk mejalankan manhaj Aswaja di Al-Azhar, meski orang fasik tidak menyukainya. Doakanlah untuk kami, semoga Allah memberi kami tuntunan taufīq agar kami bisa melakukan hal yang dicintai dan diridhai-Nya. Doakan agar kami mampu menyebar luaskan agama yang benar ini, dengan pemahaman dan praktek yang benar juga, dan semoga kami mampu menjelaskan jalan yang penuh cahaya ini kepada umat manusia, sesuai ajaran Rasulullah. Doakan kami semoga Allah membimbing kita semua -di muktamar ini, dan pasca muktamar- semoga muktamar ini bisa menjadi awal perbaikan citra Islam di kalangan korban Islamophobia, baik muslim maupun non-Muslim. * Tulisan ini disampaikan pada sambutan pembukaan Muktamar Ahlussunnah wal-Jama'ah di Chechnya, 25 Agustus 2016. Dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah PBNU Mempelajari ilmu aqidah wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Penjelasan akan hukum tersebut sudah banyak kita dengar; entah dari pelajaran di pesantren, atau dari penjelasan para ulama di sekitar kita ketika pengajian. Sejak kecil kita sudah ditempa dengan dasar-dasar ilmu keimanan, tentunya tanpa melibatkan pemikiran teologis yang kompleks dan berbelit, seperti pengenalan sifat-sifat wajib dan mustahil serta jaiz bagi Allah, nama-nama malaikat, adanya surga neraka dan sebagainya, meskipun kewajiban mempelajari ilmu aqidah dimulai sejak adanya taklif. Mengenai kewajiban di atas, Syekh Ahmad al-Dardîri menyebutkan dalam karyanya, Kharîdah al-Bahiyyah وَوَاجِبٌ شَرْعًا عَلَى الْمُكَلَّفِ مَعْرِفَةُ اللهِ الْعَلِيِّ فَاعْرِفِ Dan wajib secara syara’ bagi seorang mukalaf mengetahui Allah Yang Maha Tinggi, maka ketahuilah! Syekh Ahmad al-Dardîr, Kharîdah al-Bahiyyah, Rembang al-Maktabah al-Anwariyyah, h. 4. Belajar ilmu aqidah haruslah memiliki seorang guru, karena tanpa adanya pembimbing yang mengarahkan kepada pemahaman yang benar akan menyebabkan kekeliruan yang fatal. Kondisi demikian membuat kalangan santri sangat beruntung karena difasilitasi secara lengkap ada guru yang mumpuni dan juga referensi yang mencukupi, sehingga ilmu aqidah atau sering disebut juga ilmu tauhid dapat diserap dengan mudah oleh mereka. Beda halnya dengan orang yang mengenyam pendidikan di sekolah umum yang minim mendapatkan pelajaran keislaman secara mendalam, atau para pekerja yang waktu-waktunya sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Bagi mereka mempelajari ilmu aqidah menjadi lebih sulit, pun halnya mencari guru serta waktu luang untuk mempelajarinya. Keadaan itu membuat para santri, harus membuka mata dan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menghidupkan dan menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah masyarakat dengan menyesuaikan kondisi yang ada. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memudahkan sebagian orang yang waktu ngajinya tidak sebanyak para santri ialah dengan menuliskan tentang aqidah dengan bahasa Indonesia, atau menerjemahkan kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan bahasa yang mudah, benar dan tepat, sehingga dapat dibaca khalayak banyak. Salah satu karya tentang itu yang menarik disinggung adalah buku Akidah Salaf Imam Al-Ṭahawi, Ulasan dan Terjemahan. Imam Abu Ja’far al-Thahawi 238-321 H. merupakan salah satu imam dalam ilmu aqidah yang hidup semasa dengan dua imam besar dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Imam Abû al-Hasan al-Asy’arî w. 324 H dan Abû Manshûr al-Mâtûridî H.. Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Salâmah ibn Abd al-Malik ibn Salâmah ibn Abû Ja’far al-Thahâwi al-Azdî al-Mishrî Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh, Kayseri Dar el-Aqabah, cetakan pertama, 2001, h. 467. Dilihat dari tahun Imam Abû Ja’far hidup, maka beliau dapat digolongkan kepada ulama salaf. Imam Abû Ja’far antara lain berguru kepada Abd al-Ghanî ibn Abû Rifâ’ah, Hârûn ibn Sa’îd al-Aylî, Yûnus ibn Abd al-A’lâ, Bahr ibn Nashr al-Khawlânî, Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam,’Isâ Ibn Matsrûd, Ibrâhîm ibn Munqidz, al-Rabî’ ibn Sulaiman al-Murâdî, Abû Ibrâhîm al-Muzanî, dan yang lainnya. Pada awalnya Imam Abû Ja’far al-Thahâwî berguru kepada murid-murid Imam al-Syâfi’i dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabî’ ibn Sulaiman dan al-Muzanî, namun Abû Ja’far muda merasa pernah diremehkan oleh al-Muzanî daam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imam Ahmad ibn Abû Imrân, tokoh besar mazhab Hanafi di Mesir pada masanya. Pada umur 30 tahun Imam Abû Ja’far rihlah ke wilayah Syam dan berguru kepada Qâdi Abû Hazim al-Bashrî. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Hanafi yang dihormati di wilayah Mesir. Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, Ciputat Maktabah Darus-Sunnah, cetakan pertama, 2020, halaman 2-3. Imam Abû Ja’far al-Thahâwî memiliki banyak karya, di antara yang paling fenomenal dan banyak dipelajari dalam bidang aqidah Ahlussunnah wa Jama’ah ialah Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah. Kitab ini tipis sekali, namun isinya padat dan tidak terlalu rumit. Dr. Arrazy Hasim, dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, Ciputat, menyebutkan bahwa kitab ini memiliki beberapa keistimewaan. Pertama, kitab ini merupakan salah satu kitab ilmu aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meski Imam al-Thahâwî belum pernah bertemu dengan Imam al-Asy’arî, namun secara ajaran keduanya tidak jauh berbeda. Kendati demikian secara sanad keilmuan, Imam Abû Ja’far lebih tinggi sanadnya âli. Secara tahun kelahiran pun lebih dulu Imam Abû Ja’far ketimbang Imam al-Asy’arî. Namun dilihat dari sisi popularitas, Imam al-Asy’arî tentu lebih populer sebab Imam Abû Ja’far tidak tinggal di kota metropilitan sebagaimana Imam al-Asy’arî yang tinggal di kota Baghdad. Kedua, secara manhaj kitab ini tidak berbeda dengan aqidah Imam Abû Hasan al-Asy’arî. Ketiga, ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran aqidah yang diwariskan oleh Imam Abû Hanîfah dan kedua muridnya, Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni dan Abû Yusûf al-Anshârî. Keempat, sosok Abû Ja’far al-Thahâwî “diperebutkan” oleh aliran-aliran setelahnya, hal ini tidak heran jika kitab Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah disyarah oleh aliran salafi. Kelima, kitab ini dapat dijadikan acuan untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf. Keenam, kitab ini membuktikan bahwa aqidah Salaf Salih tidak hanya satu manhaj, akan tetapi mempunyai sistem berpikir yang beragam dan masih dalam lingkaran Ahlussunnah Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, h. 6-7. Meski buku ini berbahasa Arab, kita tidak perlu khawatir karena sekarang kitab ini sudah diterjemahkan, salah satunya oleh Dr. Arrazy Hasyim sendiri. Sebab yang melatarbelakangi diterjemahkan dan disusunnya buku ini ialah ketika penulis buku ini Dr. Arrazy Hasyim mengajar Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah di Darus Sunnah cabang Malaysia pada tahun 2014. Beberapa mahasiswa di sana saat itu menggunakan buku terjemah yang diimpor dari penerbit di Indonesia. Setelah memerhatikan isi buku tersebut, ternyata banyak bagian yang menyalahi kaidah yang diajarkan oleh penulis kitab aslinya sendiri, Imam Abû Ja’far al-Thahâwî. Hal demikian dapat dilihat dari sanggahan si penerjemah buku-buku terjemahan tersebut akan ungkapan Imam al-Thahâwî bahwa Allah Maha Suci dari batas hudûd, ujung ghâyât, dan arah jihât. Yang lebih parah tambahan penjelasan si penerjemah yang mengatakan bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara yang qadîm, padahal Imam al-Thahâwî sendiri dalam kitab aslinya tidak mengatakan demikian. Sebab itulah yang mendorong penerjemahan kembali kitab ini, dengan usaha agar dapat memperbaiki kesalahan dan penyimpangan, serta mengembalikan maksud asli dari teks sebagaimana yang dimaksud oleh Imam al-Thahâwî. Kelebihan buku Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah yang diterjemahkan oleh Dr. Arrazy ini di antaranya adalah ketepatan memilih diksi untuk ungkapan-ungkapan dalam istilah ilmu aqidah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Misalnya نَقُولُ فِي تَوْحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوْفِيقِ اللهِ إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيْكَ لَهُ “Kami menegaskan tentang pengesaan Allah tawhīd Allᾱh dengan hidayah dari Allah, mempercayai bahwa Allah itu Satu, tiada sekutu bagi-Nya." وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ "Tiada sesuatu pun yang seperti-Nya." وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ "Tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya." وَلَا إِلهَ غَيْرُهُ "Tiada sesuatu ilᾱh Tuhan yang berhak disembah selain-Nya." قَدِيْمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ "Qadīm Maha Awal tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir." Buku ini sangat cocok dibaca dan diajarkan kepada orang-orang yang baru menempuh pelajaran ilmu aqidah. Ia terdiri dari 5 Bab. Bab pertama membahas biografi singkat Imam al-Thahâwî, keutamaan, dan seputar pematenan istilah Salaf hingga sanggahan bagi aliran yang mengaku mengikuti ajaran Salaf. Bab kedua menerangkan tentang urgensi sanad sekaligus pemaparan sanad kitab ini dari penulis Dr. Arrazy Hasyim hingga muallif Imam al-Thahâwî. Dari sini terlihat penulis meriwayatkan Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah dari beberapa Masyâikh, di antara mereka adalah Syekh Abdul Mun’im al-Ghummârî, Syekh Zakariyâ al-Halabi al-Makkî, KH. Ahmad Marwazi al-Batawî, ketiganya meriwayatkan dari musnid al-dunyâ, Syekh Yasin al-Fâdânî al-Makkî hingga kepada muallif kitab, Imam al-Thahâwî. Bab selanjutnya, terjemahan Matn al-Aqîdah al-Thahâwiyyah dan terakhir, yaitu bab keempat berisi penutup. Buku-buku dan kitab-kitab tentang aqidah Aswaja—apalagi dalam bentuk terjemah—penting sekali disebar dalam jumlah banyak di masyarakat. Lebih-lebih pada saat yang sama, kelompok anti-Asy’ariyah dan Maturidiyah semacam Wahabi terlebih dahulu menyebarkan paham mereka, termasuk dengan wakaf buku ke masjid-masjid atau lainnya. Hal itu sebagai ikhtiar melestarikan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa mengabaikan bahwa mempelajari ilmu aqidah tidak cukup dengan otodidak tanpa guru. Peresensi adalah Amien Nurhakim, Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Identitas Buku Judul buku Akidah Salaf Imam al-Ṭaḥawî; Ulasan dan Terjemahan Penulis Arrazy Hasyim Penerbit Maktabah Darus-Sunnah Tahun terbit 2020 Halaman X + 100 ISBN 978-623-7197-06-5

paham ahlussunnah waljamaah dalam bidang akidah menganut ajaran tauhid